
“Syiah itu sesat.”
“Syiah itu bukan Islam.”
“Syiah itu nyembah Ali!”
Pernah dengar kalimat-kalimat itu? Iqbal juga pernah.
Dulu, ia percaya saja.
Karena katanya begitu. Karena banyank ustaznya bilang begitu. Karena video ceramahnya viral. Tapi semuanya berubah...
waktu Iqbal nekat berangkat ke Karbala, kota suci bagi jutaan umat Syiah.
Ia jalan kaki sejauh 80 kilometer, ikut ziarah Arbain. Iqbal bukan seorang Syiah. Ia Muhammadiyah. Ia seorang Sunni.
Tapi yang ia lihat di sana... bikin dia terdiam.
Bayangin ini:
Orang-orang yang masak ribuan porsi makanan, gratis, tanpa minta imbalan.
Anak-anak kecil berdiri di pinggir jalan, membagikan air minum ke siapa saja yang lewat.
Orang tua memeluk foto anaknya yang gugur karena membela kebenaran.
Jutaan orang berjalan kaki hanya untuk menunjukkan satu hal:
“Kami cinta Husain. Kami tidak lupa.”
Di titik itu, Iqbal mulai bertanya-tanya
“Kalau ini bukan Islam… lalu apa?” “Kalau pelayanan, kasih sayang, dan air mata seperti ini dianggap sesat, ini aneh banget “ Apakah hanya karena cara ibadahnya aja berbeda lalu dianggap sesat?”
Selama perjalanan itu, gak ada satu pun orang yang nanya Iqbal:
“Kamu Syiah atau Sunni?”
Gak ada yang nyuruh dia ganti mazhab.
Gak ada yang debat ayat. Yang ada justru pelukan hangat.
Segelas teh manis yang dikasih dengan senyum.
Doa dari orang asing yang gak pernah kenal nama, tapi tulus dari hati.
Ia datang sebagai tamu. Tapi diperlakukan seperti saudara. Dan justru di tengah lautan peziarah Syiah,
ia merasa sedang belajar ulang…makna menjadi Muslim yang sebenarnya.
Buku Lelaki Sunni di Kota Syiah
Bukan buku yang sibuk mencari pembenaran.
Buku Ini adalah kisah yang mengajak kamu merenung pelan-pelan, lewat pengalaman.
Karena tak semua kebenaran datang lewat kata-kata. Kadang, ia muncul pelan…saat hati belajar diam, dan mata mau melihat lebih dalam.
Kamu tetap bisa menjadi Sunni. Tapi mungkin... kamu akan belajar untuk tak mudah membenci. Karena sering kali, prasangka hanya lahir dari jarak yang belum dekat.