
Ada momen di mana kita mendengar ayat Al-Qur’an, lalu tiba-tiba… Hati bergetar. Mata berkaca-kaca. Padahal gak ngerti artinya.
Padahal cuma denger lewat speaker masjid, YouTube, atau FYP TikTok. Yang bikin aneh, kita gak sedang sedih.
Gak stres. Gak galau.
Tapi kenapa bisa begitu?
Kenapa satu ayat bisa bikin kita diam, dan air mata jatuh sendiri?
Al-Qur’an Itu Bukan Sekadar Isi. Tapi Juga Irama, Pola, dan Rasa.
Dalam buku Filsafat Seni Islam karya Fahruddin Faiz, dijelaskan bahwa salah satu tokoh penting Ismail Raji Faruqi melihat Al-Qur’an bukan hanya sebagai kitab hukum. Tapi juga sebagai karya seni Ilahi. Menurut Faruqi, Qur’an itu bukan cuma wahyu,
tapi juga estetika. Estetika di sini bukan soal visual.
Tapi tentang susunan suara, ritme, pengulangan kata, dan nuansa rasa
yang bekerja di luar nalar, tapi langsung menembus batin. Qur’an bukan cuma ngajarin kita mana yang halal dan haram.
Tapi juga menyentuh kita... tanpa harus dijelaskan. Makanya, kita bisa nangis bukan karena tahu tafsirnya,
tapi karena hati kita langsung ngerasain getaran dari ayat itu.
Faruqi menyebut Qur’an punya kekuatan yang disebutnya sebagai “sublimitas sastrawi”
kemuliaan bahasa dan struktur yang tak bisa ditandingi karya manusia mana pun. Kita gak perlu paham bahasa Arab. Gak harus hafal hukum.
Tapi ketika ayat itu dibaca dengan khusyuk dan tulus… jiwa kita bereaksi. Dan itu bukan mistis. Itu reaksi alami terhadap keindahan spiritual.
Suara Qur’an Itu Seni. Dan Seni Itu Menggerakkan Jiwa.
Qur’an itu bukan sekadar dibacakan. Tapi dibaca dengan rasa.
Ada panjang-pendek.
Ada tinggi-rendah.
Ada jeda.
Ada napas. Dan itu semua menciptakan irama yang hidup.
Ritme yang mengandung getaran. Di situlah Qur’an menjadi lebih dari sekadar bacaan.
Ia jadi pengalaman batin.
Sebuah bentuk keindahan yang mengalir ke dalam diri. Maka wajar jika banyak Qari menangis saat membaca.
Wajar kalau kita pun ikut menangis saat mendengar. Karena ternyata...
ini bukan soal arti. Tapi soal rasa.
Filsafat Seni Islam Membantu Kita Paham: Rasa Itu Valid
Selama ini mungkin kita mikir:
“Ah, gue lebay sih bisa nangis cuma denger ngaji…”
Tapi lewat buku ini, gue paham,
bahwa keindahan spiritual itu memang dirancang untuk menyentuh kita dengan lembut.
Lewat suara.
Lewat vibrasi.
Lewat alunan ayat. Jadi kalau lo pernah nangis denger Qur’an,
padahal lo gak ngerti artinya… Itu bukan kelemahan.
Itu bukan kebetulan.
Itu tanda: hati lo masih hidup. Dan bisa jadi...
itu cara Tuhan menyapa.
Bukan lewat tafsir. Tapi lewat keindahan.