Puasa—salah satu dari lima rukun Islam—merupakan ibadah yang berat untuk dikerjakan. Betapa tidak, keperluan-keperluan naluriah/biologis yang manusiawi—makan, minum, dan hubungan suami-istri—dilarang dilakukan sedari fajar hingga magrib.
Menyadari beratnya puasa itu. Al-Quran menyiapkan suatu “strategi komunikasi” yang hebat sehingga pembaca/pendengarnya terdorong untuk melaksanakannya dengan hati ringan dan ikhlas.
Strategi komunikasi tersebut ditelaah melalui tafsir sastrawi atas ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang puasa. Dengan pendekatan tersebut, pembaca akan memahami, antara lain:
- Mengapa di ayat awal disebutkan durasi puasa “hanya beberapa hari” tetapi kemudian di ayat akhir ditegaskan “sebulan penuh”;
- Mengapa redaksi ayat kewajiban puasa berbentuk kalimat pasif (“diwajibkan”) dan bukan aktif (“mewajibkan”);
- Mengapa keringanan dalam berpuasa disebutkan terlebih dahulu daripada waktu pelaksanaannya?
Dengan menafsirkan ayat-ayat seputar puasa secara sastrawi, puasa bukan hanya semata-mata dipandang sebagai perintah yang harus ditaati (secara ta’abbudi), tetapi juga dipandang sebagai program dan pembelajaran spiritual dari Allah yang dapat diterima oleh akal pikiran manusia (secara ta’aqquli)
Judul: TAFSIR SASTRAWI: Menelusuri Makna Puasa dalam Al-Quran Penulis: Wali Ramadhani Penerbit: Mizan
Tahun: 2014
Kategori: Agama Islam
Tebal: 176 h.
Harga: Rp35.000