-
-
6 Agustus 2024 11:25 am

”Abrahamic Religions” dan Kerusakan Alam

”Abrahamic Religions” dan Kerusakan Alam

Oleh
NASARUDDIN UMAR

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN

Menarik untuk dikaji sebuah tesis yang dikemukakan Karen Armstrong dalam buku terbarunya, Sacred Nature, Restoring our Ancient Bond with The Natural World. Ia mengungkapkan, paham monoteisme yang diperkenalkan oleh agama anak-anak cucu Nabi Ibrahim (Abrahamic religions), yaitu agama Yahudi, Kristen, dan Islam, berhubungan dengan terjadinya akselerasi kerusakan alam dan lingkungan hidup.Armstrong agaknya terpengaruh dengan buku The Sacred and The Profane, The Nature of Religion karya Mircea Eliade, yang mengungkapkan, paruh kehidupan manusia dahulu kala dikendalikan oleh mitos (myth) dan paruh kehidupan belakangan manusia dikendalikan oleh sains (logos).
Masyarakat adat tradisional merespons setiap persoalan hidupnya dengan mengandalkan persahabatannya dengan alam semesta. Mereka dengan terampil menyelesaikan persoalan dan tantangan kehidupannya menggunakan apa yang disebut Levy-Bruhl (1857-1939), seorang antropolog Perancis, dengan istilah ”participations”, yakni melibatkan alam semesta untuk berpartisipasi menyelesaikan persoalan manusia.
Bukan ratusan, bukan ribuan, tetapi mungkin jutaan manusia akan musnah sebagai akibat pemanasan global dan berbagai dampaknya.
Tuhan, manusia, alam semesta
-
























Fang Yizhi (1611-1671) menyebutnya Qi, sesuatu yang tak akan dapat diketahui, bahkan dikatakan, ia bukan ”Tuhan” atau wujud apa pun, tetapi ia adalah energi yang meliputi segala sesuatu. Ia berada di luar kategori yang bisa didefinisikan. Ini mirip konsep Summa Theologiae Thomas Aquinas yang menggambarkan Tuhan tidak terikat pada suatu surga supernatural, melainkan hadir di mana-mana di dalam segala sesuatu.Tuhan bukan sesuatu wujud, melainkan wujud itu sendiri (esse seipsum). Pemikiran ini mirip dengan seniornya, Ibn ’Arabi, seorang filsuf Muslim, yang mengatakan: ”Dia masuk ke dalam segala sesuatu tetapi tidak bercampur, keluar dari segala sesuatu tetapi tidak terpisah.” Alam ini, menurut dia, tidak lain adalah manifestasi (tajalli) Dia. Ia juga menggambarkan alam semesta ini sesungguhnya bukan kosmos, melainkan a-cosmos (acosmism).Berbeda dengan masyarakat modern yang seolah-olah mengasumsikan diri sebagai sesuatu entitas yang non-alam semesta, tetapi sang penguasa alam semesta.

Evolusi perkembangan manusia yang mampu mengembangkan dunia logos sedemikian hebat.Baca juga : Seruan ”Pertobatan Ekologis” di Tengah Kerusakan Lingkungan KalimantanTidak heran jika Francis Bacon (1561-1626) dengan bangga menganggap manusia sebagai ”Tuhan” karena sudah mampu menemukan dan menciptakan hukum-hukum kekuatan yang pada saatnya mampu menjinakkan dan menaklukkan alam. Tugas para filsuf adalah bagaimana mengangkat martabat manusia yang sekian lama tenggelam dalam pemujaan alam semesta sebagai akibat penyesalan dirinya yang telah melakukan dosa dan di surga yang membuatnya jatuh ke bumi.Manusia harus mengendalikan dan menundukkan bumi sebagaimana diperintahkan Allah. Alam bukan sebuah teofani (jelmaan Tuhan), melainkan komoditas yang harus dieksploitasi.Apalagi Bacon mengutip salah satu pasal dalam Kitab Kejadian (Genesis): Allah memberkati mereka dan mengatakan kepada mereka, ”Beranak cuculah dan penuhilah bumi dan kuasailah itu. Berkuasalah atas ikan di dalam laut dan burung-burung di udara. Berkuasalah atas setiap makhluk hidup yang bergerak di atas bumi” (Genesis, 1:28).Pemikiran Bacon dilanjutkan oleh Rene Descartes (1596-1650) yang terkenal dengan konsep ”cogito ergo sum” (Aku berpikir maka aku ada). Ia dengan lancung mengatakan seorang ilmuwan harus mengosongkan pikirannya dari wahyu Ilahi dan tradisi manusia..
Membaca ulang kitab suci
Kalangan pemikir Muslim juga memahami manusia sebagai penguasa alam semesta, apalagi dengan adanya ayat yang menegaskan: ”Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir” (QS Al-Jatsiyah/45:13).Demikianlah asumsi teologis yang berkembang di dalam penganut Abrahamic Religions, yang kemudian menuai kritik dari para pemikir dan pelestari lingkungan hidup.
Masyarakat adat tradisional merespons setiap persoalan hidupnya dengan mengandalkan persahabatannya dengan alam semesta.
Atas dasar inilah komunitas pemerhati lingkungan hidup dari para penganut Abrahamic religions mencoba untuk membaca ulang kitab-kitab suci masing-masing, apakah betul tudingan itu? Mungkin ada benarnya atau mungkin ada yang dapat dikritisi?Kelompok Abrahamic religions sebagai salah satu kelompok agama terbesar di dunia sudah pasti memiliki peran besar untuk menyelamatkan lingkungan alam semesta. Tantangan kita adalah bagaimana mengerem laju pembakaran bahan bakar fosil melepaskan karbon dioksida ke atmosfer, terperangkap di sana, dan menyebabkan naiknya suhu bumi secara ekstrem.Akibatnya, pasti manusia akan mengalami krisis air, krisis pangan, pemanasan global terjadi, permukaan air laut akan naik dan bisa menenggelamkan 85 persen wilayah perkotaan di dunia yang berada di pinggir pantai.Kesadaran inilah yang dilakukan oleh pemerhati lingkungan dari kelompok Abrahamic religions pada awal tahun ini di Columbia University, New York, AS, yakni melakukan pembacaan ulang (rereading) kitab suci masing-masing dalam perspektif ecotheology.Kini sudah waktunya umat manusia memaralelkan unsur agama (myth) dan sains (logos) di dalam menata kehidupan. Perlu reinterpretasi tentang konsep ”penguasa alam” (khalifah) yang selama ini terbukti menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian alam.Penulis sendiri diundang sebagai wakil dunia Islam, dalam studi ini ikut mempresentasikan konsep kearifan lokal dalam mengelola lingkungan hidup.Untuk sementara, hendaknya kita tidak hanya terkooptasi sepenuhnya untuk memikirkan akibat dari perang Israel dan Palestina (Hamas) yang menelan korban ratusan ribu jiwa..
Tentu saja ini adalah bencana kemanusiaan yang amat memprihatinkan yang harus diakhiri bersama. Akan tetapi, perlu juga di antara kita ada yang memperhatikan, betapa dahsyat manusia yang akan menjadi korban jika lingkungan hidup ini rusak.Bukan ratusan, bukan ribuan, tetapi mungkin jutaan manusia akan musnah sebagai akibat pemanasan global dan berbagai dampaknya. Ini semua terjadi sebagai akibat terjadinya salah kelola manusia sebagai khalifah di bumi.Padahal, Allah SWT sudah memperingatkan: ”Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Al-Rum/30:41).

Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2024/08/03/abrahamic-religions-dan-kerusakan-alam

Blog Post Lainnya
Social Media
Alamat
(022) 7834310
promosimizan@gmail.com
Jl. Cinambo 135, Bandung
Marketplace
-
-
Berita
`Berlangganan
@2024 Katalog Buku Mizan Inc.