Kebahagiaan kerap diucapkan maupun terdengar dalam pengharapan maupun kala berdoa. Termasuk juga menjadi ujung dari segala usaha manusia. Banyak orang rela merogoh kocek cukup dalam, menghabiskan energi dan waktu untuk mendapatkannya. Namun terkadang diri sendiri masih bingung dengan arti kebahagiaan. Merasa senang telah meraih sesuatu, tetapi tetap merasa tak puas.
Sibuk kesana-kemari mencari kebahagiaan sendiri dengan segala rencana. Sementara pencarian banyak diarahkan ke luar dari diri dengan anggapan bahwa yang di luar dirilah yang mampu membahagiakan. Seringkali juga malah saling pandang-memandang (sawang-sinawang), membandingkan, dan bersaing untuk merasa paling “aku” dengan menganggap orang lain sebagai rival. Atau malah terjerembab dalam perkelahian tampilan sentimentil yang menonjolkan “keakuan”. Keakuan yang sering mengutuk gelisah maupun lelah dalam kebuntuan.
Banyak tempat menyajikan aneka rupa kesenangan. Setiap menyaksikan televisi, berbagai berita pesanan untuk mendorong, membujuk khalayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa yang ditawarkan pun kerap menggoda. Malahan terang-terangan tampil tanpa permisi mewaktu sedang bermain gawai. Semua tampak dan tak bisa dielakkan mata dan terdengar sampai telinga untuk menanamkan perburuan keinginan maya.
Baca juga: Cheng Beng, Buku dan Laut
Mengejar kesenangan itu tidak ada akhir, selalu ada ketidakpuasan. Kesenangan ataupun kebahagiaan sering dipahami dari segi tampilan permukaan luar atau fisik. Lalu diri sering tertipu oleh rupa dan bentuk. Tergelincir dalam pretensi pamer dan egoistik yang tersembunyi, tetapi sengaja dibuka telanjang dalam setiap laku yang ditampilkan. Termasuk juga sikap untuk dipuji. Menggiring diri untuk bisa dilihat oleh orang lain bahwa dirinya bahagia, padahal bisa jadi sebaliknya, pura-pura bahagia.
Tak hanya tubuh yang perlu gizi, ruhani pun memerlukannya. Kalau mau mendengarkan, alarm dalam diri sering berbunyi kencang dari hati karena sering terabaikan hingga kering kerontang. Pada titik ini, diri seperti hanya dipenuhi lintasan keinginan yang kemudian bingung tak terkendali. Orang Jawa menyebutnya kemrungsung. Hidup perlu menangkap yang batin (makna yang sifatnya lebih kekal) dari hal-hal yang dzahir (rupa, bentuk yang sifatnya rapuh dan sementara). Lalu apakah bahagia bisa didapatkan?
***
Ngaji—terutama bagi saya yang masih minim ilmu—menjadi sebuah proses dan sekaligus hasil kebahagiaan yang langsung terasakan. Cukuplah sekedar datang, duduk dan mendengarkan apa yang disampaikan guru.
Bagaimana jika “kebahagiaan” menjadi tema ngaji? Wah, ini sungguh menjadi pembahasan yang menarik di Ngaji Filsafat. Pak Fahruddin Faiz membahas kebahagiaan melalui pemikiran beberapa filosof yang diangkat. Ada Platon, Al-Farabi, Al-Ghazali dan Ki Ageng Suryomentaram. (Desember 2016 terbit buku Suluh Kebahagiaan sebagai hasil dari olah pengayaan tema kebahagiaan-red).
Di malam itu, Rabu malam Kamis selepas Isya (30 Desember 2015) di Masjid Jendral Sudirman, kebahagiaan dikupas pelan-pelan. Prasyarat awal untuk ngaji kebahagiaan tampaknya telah terpenuhi dengan dihadirkannya kebahagiaan itu sendiri. Bagi saya dapat mengikuti ngaji menjadi gambaran kebahagiaan dan rasa sumringah yang tak terelakkan.
Pada kesempatan Rabu malam syahdu itu, ternyata seringkali diri merasa gagap dalam membedakan antara keinginan dan kebutuhan, serta antara kesenangan dan kebahagiaan. Keinginan seringkali menjadi sosok yang cerewet dengan berbagai alasan dan membuat diri pontang-panting untuk memenuhinya, meskipun mengorbankan kebutuhan. Diri kita tidak akan selesai menuruti segala macam keinginan, karena keinginan berasal dari hasrat, dan pikiran yang selalu bisa saja mengotak-atik mencari berbagai alasan untuk dapat memenuhinya.
Setali tiga uang dengan keinginan, kesenangan ternyata berada di tingkatan atau level yang paling rendah dalam kebahagiaan yang hanya bisa dirasakan sesaat dan setelah itu menguap hilang entah kemana.
Dikatakan bahwa keinginan dan kesenangan itu harus tahu batas, yang berarti butuh pengendalian diri dan mengenal kapasitas diri. Kalau tidak tahu batas atau berlebihan maka yang terjadi adalah ketidakbahagiaan. Contohnya makan, kalau berlebihan bisa menjadi jemu dan bahkan menjadi penyakit. Dan kebahagiaan perlu dilandasi dengan kebijaksanaan yang diawali dengan pengetahuan yang benar dan perilaku yang benar.
Mengenali diri menjadi pengetahuan yang paling berharga. Diri bisa menipu tentang banyak hal, tetapi tidak bisa untuk menipu atau mengingkari diri sendiri. Karena diri yang sepenuhnya tahu tentang dalam dirinya, termasuk segala potensi di dalam diri yang tak akan habis direalisasikan menjadi aktual sebagai jalan untuk mengembangkannya ke arah kebahagiaan. Ada seorang alim mengatakan, “Kebahagiaan itu ada di dalam diri, tengoklah ke dalam, dan temukan kebahagian dalam diri.” Seperti halnya konsep Jawa dengan jagad cilik dan jagad gede, artinya kalau kita mengenal diri maka akan mengenal alam semesta.
Tetapi jangan juga hidup hanya berurusan dengan diri sendiri. Tak ada faktor tunggal yang menyebabkan sesuatu terjadi, kecuali atas kehendak-Nya. Semua saling kait mengkait. Begitu juga kebahagiaan yang selalu berada dan bersama dalam relasi sosial. Derajat kebahagiaan akan lebih meningkat jika kita bisa ikut membawa faedah dan kebahagiaan untuk banyak orang dan semua makhluk dengan membawa cinta kasih, kebenaran serta keadilan.
Kalaupun masih belum bahagia, berarti perlu untuk memeriksa diri (termasuk diri saya sendiri). Masihkah ada rasa-rasa menyerah atau putus asa yang membelenggu, berupa depresi dari masa lalu yang merasa lebih baik; rasa kecewa pada masa kini yang tak sesuai harapan; ataupun rasa cemas akan masa depan yang belum terjadi. Dan semua itu hanya rasa-rasa yang dibuat oleh diri sendiri, berubah semakin berat karena keluhan, serta akhirnya menjadi pilihan untuk tetap digenggam. Terkadang aneh, diri sering memperumit sendiri. Bahagia itu seperti hadiah, tinggal mau menerima atau tidak.
Kebahagiaan tak ada artinya jika hanya sebatas pengetahuan tanpa ada perenungan dalam pergumulan hidup. Tingkat kebahagiaan setiap orang itu berbeda dan subyektif. Sesuatu yang sama bisa bermakna kebahagiaan yang berbeda. Kebahagiaan seperti menjadi seni merangkai puzzle-puzzle kehidupan menjadi lebih bermakna. Jika tanpa makna maka hidup perlu dipertanyakan.
Ada salah satu teman yang pernah bercerita di dalam Masjid Jenderal Sudirman. Suatu saat teman ini naik becak dan biasa membuka dialog dengan bapak pengayuh becak.
“Wah puanas ya pak,” ungkap teman saya.
“Walah mas, panas itu kan dari Gusti Allah juga to mas”, jawab bapak pengayuh becak dengan santai.
Penyataan-jawab yang sederhana, tetapi terasakan begitu mendalam, seperti kata seorang guru kepada muridnya. Kebijaksanaan bisa berasal dari berbagai arah. Siapapun bisa menjadi guru dan dimanapun bisa menjadi sekolah.
Kebahagiaan yang dilandasi dengan kebijaksanaan serta diawali dengan pengetahuan yang benar dan perilaku yang benar diibarat-ungkapan, “Ngetutke rasa koyo ngetutke dalane banyu, bakal ketemu lan manunggal marang segoro”. Dan ada saatnya kebahagiaan yang indah itu diperoleh tanpa hiruk-pikuk dan tepuk tangan.
Catatan ini sendiri adalah bagian dari kebahagiaan, kata-kata hanya bisa membeberkan secuil pengalaman tentang rasa. Selamat berbahagia. Mari ngaji.