Subjudul: Dari Al-Ghazali, Pakubuwana IV, Lawrence Kohlberg hingga Hans Jonas
Kaidah Emas, “lakukan pada orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan”, adalah landasan moral yang mudah sekali diterima oleh semua orang di mana pun. Maka, moral, yakni soal benar/salah, sesungguhnya mudah dipahami secara intuitif. Tapi, mengapa moral menjadi isu paling krusial di tengah masyakarat kita?
Lihat fakta: Indonesia konon salah satu negara paling religius tapi masuk peringkat (ter)tinggi korupsi di dunia. Ratusan ribu orang setiap tahun mampu berhaji dan umrah, tapi problem kemiskinan begitu mengerikan. Betapa sulitnya mengajarkan kebersihan dan ketertiban di ruang publik, semisal buang sampah sembarangan dan saling serobot di jalan raya. Mengapa orang kita lebih mudah tertib di Singapura daripada di negeri sendiri? Mengapa justru di negeri yang masyarakatnya mementingkan agama moralitas seperti terabaikan?
Buku ini membuka mata kita bahwa isu moral tersebut tidak sesederhana yang dibayangkan orang. Di situ ada faktor kesadaran pribadi, sistem hukum, konvensi sosial, adat dan kebiasaan, sistem pendidikan, dan sistem sosial, serta sistem keyakinan. Dari mana kita mengurainya?
“Tak jarang karena ketidaksadaran dan ketidaktahuan, belakangan ini keharusan mengedepankan moralitas dalam kehidupan keseharian kita terasa makin luntur. Prioritas-prioritas lain—pengejaran kekuasaan, kemakmuran, dan popularitas—telah menjadikan persoalan moralitas ini seperti terabaikan. Buku ini menjadi penting dalam rangka menjernihkan dan memulihkan kesadaran kita bahwa hanya dengan senantiasa menegakkan moralitas, peluang bagi kehidupan bersama yang menjanjikan kebahagiaan bisa dipastikan.”
—Haidar Bagir, penulis Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan