“Jika mantanmu memang orang yang tepat untukmu,
tentu ia masih bersamamu sampai sekarang.” —Ancika
Awal Maret 1997, Dilan baru saja pulang dari Kuba, enam bulan setelah menjadi mahasiswa pertukaran di Fakultas Artes Visuales. Kala itu, Bandung sedang dipenuhi baliho-baliho. Dalam dua bulan, pemilihan calon legislatif akan dilakukan seretak, yang kemudian disusul peristiwa besar, seperti Kudatuli dan Krisis Moneter.
Dilan dan Cika sudah bersama selama dua tahun, hingga keduanya memutuskan untuk merencanakan langkah besar yang lain. Rencana itu, berjalan bersamaan dengan berjibakunya Dilan menyelesaikan Tugas Akhir kuliahnya di ITB, dan Cika yang masih harus melanjutkan kuliah di Unpad. Tanpa terduga, di antara rencana itu, Lia tiba-tiba mengajak bertemu. Rasa enggan muncul dalam benak Dilan. Namun, Cika meyakinkannya untuk coba menemui Lia saja. Ada rasa aneh yang menggantung di udara, semacam tarikan untuk pergi, tapi ada juga dorongan untuk membatalkannya.
Sementara itu, unjuk rasa semakin masif dilakukan di kota-kota. Mahasiswa berbagai kampus turun ke jalan, menyuarakan protes terhadap kesewenangan kebijakan. Satu demi satu tubuh saling menghantam, tameng beradu dengan poster, dan teriakan bercampur bau keringat dan asap. Teriakan “Reformasi!” menjadi nyala api yang menolak padam.