Judul: Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih
Sungguh sedih melihat umat Islam terpecah menjadi sekian golongan. Tak jarang pertikaian menjadi awal permusuhan. Terputuslah silaturahmi. Menyebarlah prasangka buruk dusta, bahkan fitnah yang sangat keji. Fanatisme golongan menjadi dalil segala keyakinan. Merebaklah kecenderungan untuk menganggap pendapat sendiri yang paling benar dan menafikan pendapat yang lain.
Inilah wajah umat sekian abad sepeninggal Rasulullah Saw.: terkotak-kotak dalam bingkai kelompok yang sangat sempit. Mereka melupakan misi kenabian. Sejak awal lelaki agung Al-Mustafa diangkat menjadi utusan, berkali-kali beliau menegaskan: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Misi Nabi Saw. adalah menegakkan akhlak yang mulia. Tetapi justru karena perbedaan pendapat—yang umumnya berasal dari tata cara syariat (fiqih)—umat sepeninggal Nabi Saw. tercerai-berai. Karena alasan fiqih, tak jarang akhlak ditinggalkan. Karena perbedaan tata cara ibadah, betapa sering terjadi perselisihan.
Jalaluddin Rakhmat ingin kembali mengingatkan kita akan misi kenabian. Dalam bukunya ini, ia menelaah akar perselisihan, mengkaji berbagai persoalan, dan mengedepankan sebuah pemecahan bahwa di tengah perbedaan pendapat seperti apa pun, akhlak yang mulia tetap harus kita tegakkan.
“Fiqih bersifat partikular dan kontekstual.
Sementara Akhlak bermakna nilai-nilai kemanusiaan universal
yang kepadanyalah seharusnya seluruh produk pikiran manusia diarahkan.
Buku karya Kang Jalaluddin Rakhmat ini sangat menarik. Ia merepresentasikan pikiran-pikiran mendalam, luas, jernih, dan sekaligus mendamaikan hati.
Buku ini sangat penting untuk dibaca oleh publik luas. Selamat.”
—K.H. Husein Muhammad, penulis Menimbang Pluralisme
“Jalal memaparkan telaah intertekstualitas atas sejumlah kitab klasik,
... sambil sesekali menaburkan pengalaman pribadinya sendiri
yang, eloknya, lebih sering membuat pembaca tersenyum
ketimbang berkerut dahi, tanpa meninggalkan bingkai religiositasnya.”